Munafik

Munafik. Mungkin itu yang pantas diucapkan.
Telah berlalu beberapa tahun lalu. Saat aku sudah menetapkan pada hatiku untuk tidak "jatuh cinta" lagi. Mungkin ini memang tak layak bila disebut cinta. Sayang pun juga mungkin tak bisa dikatakan begitu. Tapi aku bisa mengenali hatiku, bilamana dia sedang dilanda suka terhadap seseorang. Bahkan yang mana dikatakan lebih dari kata suka.

Munafik, mungkin seperti itulah. Bilamana hati ini sedang memupuk perasaan terhadap orang lain, tak mungkin hanya sekedar suka. Pasti rasa ingin memiliki itu ada. Yah, aku tahu itu. Bila pun tak bisa memiliki, tapi pasti keinginan itu ada.

Rasa itu hampir membuatku gila. Bertaruh diri sendiri dan hati ini. Bahwa ini hanya perasaan suka dan tak lebih. Bahwa ini hanya sesaat dan tak mungkin menjalar. Bahwa ini akan segera berakhir. Bahwa aku pasti bisa mengendalikannya.

Entah telah berapa lama hati ini bergulat dengan nafsu dan akal. Berkali akal diajak untuk berunding, berkali pula hati mengalah. Akal berusaha meyakinkan hati bahwa semua akan baik2 saja. Hati menerima meski sebenarnya ia cemas. Begitu cemas. Ia takut bila diri ini disakiti. Ia takut dikecewakan. Apalagi oleh nafsu. Dia memberontak, tapi apalah daya dia tak sanggup. Dalam hati, dia mengakui keberadaannya.

Dia munafik. Tetap saja. Telah berapa kali dia dibohongi. telah berapa kali ia dikecewakan. Akal ini berusaha memikirkan jalan yang terbaik, hati pun begitu.
Akal meminta maaf pada hati, karena keputusannya telah menyakitinya, mengecewakannya. Hati tahu. Ia memang sakit. Ia memang rapuh. Tapi ia tetap baik, bisa menerimanya. Hati tahu keberadaanya mungkin masih tersisa di sana. Jejaknya masih tertinggal. Kebersamaan walau hanya sesaat itu, menorehkan sedikit kenangan. Tak banyak memang. Dan mungkin bagi seorang dia kenangan itu tak pernah ada.

Aku tahu keberadaanku tak pernah dianggapnya ada. Aku hanyalah bayangan. Aku tahu itu, seperti hatiku juga mengerti. Karena keberadaanmu juga tak baik untuk hatiku, dan aku tak baik untuk dirimu. Ku tinggalkan kamu. Bukan juga karena bosan ato apa. Aku ingin hati ini nyaman dan tenang. Aku tak ingin jadi orang yang munafik. Terutama untuk hatiku.

Kita adalah manusia. Muslim. Agama kita sama, ajaran kita  pun sama. Karena kita sama2 tahu, ku lebih memilih ini. Mempertahankan hatiku. Dan tak mau lagi untuk munafik.
Aku suka kamu paham itu. Kamu mengingatkanku kembali tentang apa itu zina, tabarruj. Aku sudah tahu dan insya Allah sudah paham sebelum kamu mengingatkannya padaku.

Malam itu, saat kamu mengingatkanku apa itu semua, aku berharap itu bukan hanya karena omongan belaka. Bukan karena kamu ingin menghindariku. Bukan karena kamu bosan denganku. Melainkan karena kamu pun juga mengalami hal yang sama denganku. Mempertahankan hati untuk lebih baik. Aku sangat senang kamu mengawali apa yang seharusnya aku sampaikan minggu2 sebelumnya.

Namun agaknya aku keliru mengartikan semua itu. Kamu pun tetap sama.
Kenapa mesti berbohong? Kenapa mesti mengaitkan semua itu mengenai bahwa hatimu tak menginginkan semua ini. Bahwa semua ini hanyalah kamuflase saja. Bahwa semua ini hanya pelarian. Kenapa mesti mengaitkan tentang agama untuk keinginanmu aku menjauh? Kenapa mesti berbohong seperti itu lagi??

Memang itu bukan yang kali pertama. Dan itu bukan hal yang aku mesti marah ketika kamu menyampaikan maksud kamu sesungguhnya. Jika saja kamu tahu, aku lebih senang bila kamu jujur padaku. Jujur mengenai hatimu. Jujur mengenai apa yang sebenarnya kamu inginkan. Mungkin saya bisa membantumu untuk itu. Tanpa kamu harus berbohong. Tanpa kamu harus mendakwahiku terlebih dulu.
Aku sudah seperti megenalmu. Jauh yang kamu tahu. Ato aku hanya sekedar mengenalimu dari luar saja. Entahlah.

Ada yang sebenarnya ingin aku katakan padamu.
"Sosok itu mungkin pernah sakit kaarenamu. Tapi ia tak pernah menyakitimu seperti itu. Hanya kamu yang sebenarnya menyakiti dirimu sendiri. Tak sadarkah kamu?"

Komentar

Postingan Populer